Wednesday, March 28, 2018

Song & Their Memories

Gue sangat ingin post ini di tumblr tapi apa daya skill menghapus vpn di laptop gue belum canggih jadi ya kita pakai saja platform yang ada. 

Basically, bagian dari sebuah lagu yang bikin gue jatuh cinta pertama kali adalah melodinya. Baru setelah itu gue bakal cek liriknya. Makanya terkadang gue bisa sangat suka sama lagu dengan bahasa antah berantah (which includes Korean) meskipun jelas gue ga paham apa maksudnya. Tapi, ketika lo suka dengan suatu melodi tertentu, biasanya melodi itu akan mengarah ke topik-topik lirik tertentu, paham ga? Jadi sebenernya meskipun gue kurang memahami isi dari sebuah lagu, tapi secara garis besar, melodi yang gue suka itu biasanya mengarah ke lagu jatuh cinta, lagu putus cinta, atau simply lagu tentang kenangan masa lalu. No hard feelings.

Sebuah lagu juga kadang-kadang gue asosiasikan dengan keadaan tertentu saat gue mendengar lagu itu untuk pertama kalinya. Jadi ketika gue putar ulang lagu itu, gue bisa mendadak sangat emosional karena di otak gue terjadi flashback-flashback tentang kejadian yang gue alami saat mendengar lagu itu. Tapi untungnya gue nggak pernah mengasosiasikan sebuah lagu dengan kejadian buruk. Jadi, alhamdulillah biasanya flashback yang gue alami adalah flashback yang membahagiakan aja. 

Disini gue akan coba menuliskan beberapa lagu yang masuk dalam kategori emotional song dalam playlist gue. Well pardon me karena mostly list ini akan berisi lagu-lagu barat dan lagu-lagu Korea instead of lagu-lagu Indonesia. 

1. Evanescence - My Immortal
Well lagu ini pertama kali gue dengerin pas SD entah kelas berapa I don't remember. Pada saat itu jelas gue nggak paham lagu ini tentang apa. Dulu, ada sebuah game namanya Caesar 3 (masih gue mainin sampe sekarang fyi) yang dikenalkan oleh dua kakak sepupu gue yang kebetulan juga tetangga gue. Pada saat itu, gue belum dibeliin komputer jadi alhasil setiap hari gue main kesana dan ngeliatin mereka main Caesar 3 ini, meskipun kadang-kadang gue juga kebagian main. Nah, karena gue super cupu dan mereka udah super canggih mainan komputer, sembari main biasanya playlist lagu bakal dipilihin sekalian sama mereka. Banyak sebenernya lagu yang keputer, tapi entah kenapa playlist Evanescence adalah artis yang paling ngena di otak gue. Jadi, meskipun lagu ini sebenernya menceritakan tentang seseorang yang susah move on, tapi yang ada di pikiran gue kalo lagu ini diputer adalah game Caesar 3 😆. Lagu Evanescence lain yang memorinya sepaket sama My Immortal ini ada Going Under, Imaginary, My Last Breath, sama Missing


2. Busker Busker - Cherry Blossom Ending
Sebelumnya gue belum pernah dengerin lagu ini sampe gue menghabiskan empat bulan musim semi di Korea. Lagu ini intinya tentang memori pacaran pas musim semi, tapi of course gue belom pernah merasakan pacaran di bawah bunga-bunga sakura yang berguguran jadi liriknya sama sekali nggak related di kehidupan saya. Cherry Blossom Ending ini jadi semacem mars musim semi kalau di Korea. Pada saat itu ada spring festival dan lagu ini dimainin berkali-kali oleh mahasiswa-mahasiswa baik secara akustik maupun dimainin dengan alat musik yang lengkap. Di sepanjang jalan juga cafe atau toko-toko kosmetik mainin lagu ini kenceng banget (fyi di korea ini depan toko biasanya ada speaker gede banget buat narik perhatian). Tapi yang paling ngena adalah ketika gue pergi ke Nami Island. Meskipun Nami Island di musim semi ini hampir mirip dengan Kebun Raya Bogor, gue selalu teringat suasana di sana tiap kali muter lagu Cherry Blossom Ending. Kebetulan waktu itu ada live music dan orangnya nyanyi lagu ini. Jadi... bener-bener kerasa lah memorinya. 

3. Westlife - Close
MV and lyrics here
Despite liriknya yang memang ngena banget terutama kalau lagi jatuh cinta, flashback yang gue kenang dari lagu ini jauh banget dari isi lirik aslinya. Dulu mama gue adalah salah satu dari fans beratnya Westlife, jadi di rumah ada banyak banget album Westlife termasuk album edisi spesial seperti Coast to Coast Special Tour. Dalam album itu diceritakan tentang perjalanan Westlife tur keliling Inggris selama beberapa hari. Nah, selain konser, ada juga momen dimana mereka mengadakan fansign. Di dokumentasinya, ada banyak banget fans yang udah ngantri di depan tempat fansign dari pagi. Nah, ketika fans-fans ini diambil gambarnya, mereka dadah-dadah dengan background musik si lagu Close ini, hahaha. So... yang ada di bayangan gue ketika mendengarkan lagu ini adalah perjuangan mbak-mbak fans Westlife buat ketemu sama Shane cs. sampai rela ngantri panjang banget. Bahkan saat itu ada fans yang usianya 50+, udah nenek-nenek, dan akhirnya dapet cium pipi sama Bryan. Aduadu. 

Gue sendiri baru menyadari apa isi lagu ini yang sebenarnya ketika gue sudah SMP. Sebelumnya gue kira lagu ini judulnya "tutup," ternyata close punya arti kata lain yaitu "dekat." Norak ya hahah. 

4. Zico ft. Luna/Taeil - It was Love
Luna version
Taeil version
Kalau dilihat dari video klip aslinya di versi Luna, lagu ini sangat puitis dan punya kesan mendalam tentang seseorang yang baru saja putus dari kekasihnya. Judulnya juga sudah representatif dalam menggambarkan apa yang akan dituangkan dalam lagunya. So deep indeed.

Semasa di Korea, sempat beberapa waktu terdengar sayup-sayup lagu ini di jalanan. Namun, momen paling nendangnya kena ketika saya dan empat orang teman pergi melancong ke Busan. Waktu itu, pagi hari ketika kami sedang memanggang roti untuk sarapan, resepsionis penginapan memutar lagu ini dan terdengar sampai ke seluruh area penginapan. Entah kenapa rasanya syahdu wkwk.

Momen kedua, lagi-lagi sedikit tidak nyambung tapi masih dalam momen perjalanan di Busan. Sore hari menjelang malam, saya dan teman-teman mengunjungi sebuah pasar malam di dekat Jagalchi Market (pasar ikan). Pasar malam ini dalam arti banyak kios makanan portabel yang hanya muncul mulai jam 4 sore, jadi bukan pasar malam seperti di Indonesia yang ada beberapa tambahan hiburan macem kincir dan tong stand. Di sini, di sepanjang jalan, ada toko yang memutar lagu It Was Love dalam full volume plus ada sedikit hembusan angin. Oh my God I cannot forget that moment. Waktu itu juga saya spontan berbisik ke Yinting, salah satu teman melancong saya, "This moment will cross my mind whenever this song starts playing, even after I came back to Indonesia." Dia cuma ngelihatin aneh, "The moment you crossing a fish market?" Lol.





Monday, February 20, 2017

Trip to Busan - part 2

Setelah kami terlepas dari segala rintangan menuju Busan, waktunya kami untuk menikmati tempat-tempat wisata di daerah ini, yay!!

Story #1: Mr. Egg Nampo, Busan
Sebelum jalan-jalan, saya pengen sedikit mengulas tentang penginapan yang kami gunakan selama tiga hari di Busan. Kami memilih tempat ini jelas karena murah, tetapi menawarkan fasilitas yang lumayan oke dan mempunya dekorasi kamar yang lucu-lucu. See this:

Resepsionis penginapan. Lucu, kan?

The living room

Tempat makan. Ada fasilitas komputer dan hanbok gratis untuk pengunjung.
Di sini kami memesan lima kasur di satu kamar yang kapasitasnya delapan orang, jadi kami juga bergabung dengan orang-orang lain di dalam kamar. Selain murah dan lucu, penginapan ini juga memberikan fasilitas DIY breakfast seperti roti tawar (ada toaster-nya juga), selai, telur, dan susu.
Mantap, kan?


Story #2: Gamcheon Cultural Village
Gamcheon ini salah satu landmark paling terkenal di Busan. Tempatnya sebenarnya bukan bangunan atau semacamnya, melainkan sebuah desa. Konon desa ini dihuni oleh masyarakat yang ditawan Jepang pada masa penjajahan (cmiiw). Setelah Korea merdeka, mereka ingin menghilangkan hawa suram dari masa itu sehingga orang-orang memutuskan untuk mendekorasi ulang bangunan luar mereka dengan cat warna-warni. Kebetulan daerah ini tempatnya di dataran rendah, sedangkan akses ke sana harus melalui tempat lain yang datarannya lebih tinggi. Jadi, warna-warni itu pasti terlihat oleh orang yang akan memasuki daerah tersebut.

Akses ke Gamcheon ini tergolong mudah. Dari penginapan Mr. Egg, kami tinggal jalan sedikit ke halte bus. Dari situ sudah ada bus yang rutenya melalui halte tepat di depan pintu masuk Gamcheon Village.

Pemandangan dari pintu masuk Gamcheon Village

Di Gamcheon Village ini ada beberapa spot yang menarik untuk dijadikan tempat foto seperti museum, cafe, tangga artistik, serta toko-toko aksesoris dan cinderamata. Tapi perlu diingat bahwa Gamcheon ini medannya berbukit-bukit, jadi meskipun senang dengan pemandangan sekitar, tiba-tiba nggak berasa aja kalau kaki ini lelah luar biasa.

Berikut sedikit dari beberapa hal unik yang ada di sepanjang jalan di Gamcheon Cultural Village:





Story #3: Busan Tower
Malamnya, kami pergi ke Busan Tower. Tempatnya mirip-mirip dengan Seoul Tower tapi lebih rendah dan lebih nggak rame. Cuma secara esensi ini sama aja, sebuah bangunan tinggi dengan taman buat pacaran atau sekedar duduk-duduk di bawahnya. Berhubung biaya naik ke Busan Tower ini tidak semahal biaya di Namsan Tower, kamipun memutuskan untuk naik dan melihat pemandangan Busan dari atas. Sayang beribu sayang saat itu HP gue masih Galaxy Grand dengan kamera blur dan menyedihkan :((




Selanjutnya, di hari kedua, rasa-rasanya kami pergi ke pantai.
Story #4: Heundae Beach
Agak norak juga sebenernya warga dari negara kepulauan terbesar di dunia mengunjungi pantai. Memang begitu sampai disana, tidak begitu banyak rasa "amazed" dibandingkan ketika main ke tempat-tempat modern yang asing bagi saya. Namun dalam hal perawatan pantai, fasilitas pantai, dan yang paling penting kebersihan pantai, it was faraway from what you found in Indonesia. Ga adalah yang namanya kaleng-kaleng atau sampah-sampah lainnya yang betebaran. Bahkan di pintu masuk pantai ini ada sebuah stall besar dengan tulisan "Smart Beach." Well I write this post in 2018 dan beberapa kota besar di negara ini masih berkutat dengan pengembangan smart city. Boro-boro dah implementasi smart beach. 

Smart beach stall di pintu masuk pantai. Iya itu depan pantainya gedung-gedung tinggi.

Hal lain yang menurut saya menarik adalah tidak adanya kafe-kafe overpriced di sepanjang pantai seperti di Bali atau pantai-pantai lain di Indonesia. Entah ini karena memang tidak dianjurkan untuk makan/minum di sekitar pantai atau memang persepsi bahwa pantai ya pantai. Tempat untuk bermain pasir, bermain air, bukan nongkrong. Ada beberapa mesin penjual minuman botol dan kaleng, tapi letaknya sudah lumayan jauh dari bibir pantainya. Ibaratnya dia sudah di area yang di paving, bukan area yang berpasir. Di sampingnyapun dilengkapi juga dengan tong sampah.





Sunday, February 19, 2017

Trip to Busan - part 1

Hm, mungkin dari penuturan saya terdahulu baik secara langsung maupun lewat media sosial, kehidupan saya selama mengalami pertukaran pelajar di Korea terkesan baik-baik saja dan/atau malah cenderung terlihat sangat menyenangkan. In this post (and the next posts), saya akan mencoba menulis juga beberapa kejadian-kejadian negatif yang nyata terjadi di negara tersebut. Cerita ini nggak mengada-ngada, dan terjadi atas ketidaksengajaan saya.

Suatu hari, saya dan teman-teman saya (hi Vio, Dhillah, Yinting, and Ihsane if you read this ã…‹ã…‹ã…‹) berencana untuk jalan-jalan ke Busan. Yap, kota ini adalah kota terbesar kedua di Korea setelah Seoul sekaligus destinasi wisata para turis selain Seoul dan Jeju-do, makanya dia semacam jadi a-must-visit place in Korea lah. Layaknya mahasiswa pada umumnya, kita akan share pengalaman jalan-jalan low-cost dengan booking penginapan online yang paling murah dan naik kereta yang paling ekonomis-- meskipun dengan sejuta konsekuensi setelahnya. So, here we go.

Story #1: Beli tiket kereta antar-kota
Di Korea ini, pemesanan tiket kereta antar-kota secara online hanya bisa dilakukan melalui credit card payment. Berhubung kami semua hanya punya debit card, maka satu-satunya cara yang bisa diambil adalah membeli secara langsung di loket stasiun. Setelah berdiskusi tentang waktu keberangkatan, saya bertugas menjadi eksekutor pembelian tiket bersama Vio di Suwon Station. Sesampainya di stasiun, kami dengan noraknya berasumsi kalo mesin tiket subway bisa dipake juga untuk membeli tiket kereta antar kota. Sempet makan waktu lebih kurang 20 menit sampai akhirnya kami menyerah untuk mengutak-atik si mesin penjual tiket. Beruntung, tidak lama setelah kepasrahan itu, kami berhasil menemukan petunjuk arah menuju ke loket yang ternyata ada di lantai atas Suwon Station. Stasiun ini emang agak bikin pusing karena dia menyatu dengan subway dan mall, jadi kita juga sempet bickering: "bukan, itu arah ke mall." "Eh, enggak ini beda lift!" dst dsb. 

Lanjut, ternyata lagi, pemesanan tiket ini tidak dilakukan di loket, melainkan melalui mesin pemesanan khususnya sendiri. Bagian ini sebenernya tidak terlalu sulit karena kami tinggal pencet-pencet jurusan dan jumlah tiket yang mau dibeli. Setelah itu, tiketnya akan otomatis tercetak. Mesin-mesin di Korea itu benar-benar foreigner friendly, artinya, semuanya dilengkapi dengan Bahasa Inggris sehingga sangat mudah untuk digunakan.

Kebetulan juga saat itu kami pergi di libur long weekend, jadi rute kereta yang langsung satu kali jalan dari Suwon ke Busan sudah habis terjual. Alternatifnya, kami naik kereta ke Daejeon, transit, kemudian naik kereta lagi dari Daejeon ke Busan. Sedikit bonus buat kami karena ada sedikit waktu untuk menikmati Daejeon, sebuah kota yang kami juga tidak tahu ada apa di sana. Gaya aja.

Tambahan info lagi, kereta antar-kota ini sendiri sebenernya dibagi ke-3 kelas; ada yang namanya KTX, ITX, dan Mugunghwa. Mungkin sebenernya ada lagi tapi saya cuma inget tiga itu haha. KTX itu lebih seperti Shinkansen di Jepang: cepat, terbatas, dan mahal. ITX juga mirip dengan KTX tapi dia berhenti di beberapa stasiun yang KTX tidak berhenti, jadi dia relatif memakan waktu lebih lama dari KTX. KTX sendiri hanya berhenti di stasiun-stasiun besar. Terakhir, terdapat kereta kelas ekonomi yang diberi nama Mugunghwa. Bisa ditebakkah saya naik kereta yang mana? Wkwk.

Story #2: Drama Pre-Keberangkatan
Kereta yang akan kami tumpangi ke Daejeon berangkat jam 5.04 sore. Beberapa dari kami masih harus menghadiri kelas sampai jam 3.30. Plus toleransi waktu untuk sholat ashar, akhirnya kami sepakat untuk ketemuan jam 4.00 di halte bus depan kampus. Sialnya, ada salah satu dosen kami yang menyelesaikan kelas lebih lama dari batas akhir pelajaran sehingga kami benar-benar baru berangkat dari kampus pukul 4.30. Padahal perjalanan via bus dari Ajou University ke Suwon Station minimal harus menempuh waktu 30 menit, itupun belum ditambah lagi dengan kemungkinan macet di jalan. Deg-degan? BANGET! Kita udah beli tiket pulang pergi ke Busan, booking penginapan, planning jalan-jalan ke sana-sini, budgeting, dst dst sampe bener-bener nggak kebayang kalo kita harus gagal di perjalanan ini. Alhasil, begitu turun dari bus, kami langsung lari sekenceng-kencengnya ke peron kereta. Lumayan menguras tenaga karena peron keretanya ada di atas, bukan underground seperti subway. Begitu sampai ke peron dan melihat tracknya masih kosong.... kami langsung menghembuskan nafas lega dan mumbling "alhamdulillah alhamdulillah" sambil ketawa-ketawa juga. Lima menit setelah kami alhamdulillah-an, keretapun datang ♡

Story #3: A glance of Mugunghwa Train
Mungkin kereta yang saya tumpangi ini dikategorikan ke dalam kereta ekonomi di Korea, tapi kualitasnya persis sama dengan kereta eksekutif di Indonesia. Miris, tapi Indonesia juga belum punya KTX sehingga memang itulah fasilitas terbaik yang bisa kita nikmati. Tambahan lagi, ketika membeli tiket, kami tidak menemukan opsi untuk memilih kursi, tapi miraculously kami semuanya duduk berdekatan satu sama lain. 


Story #4: Welcome to Daejeon Station!
Begitu masuk ke Daejeon Station, stasiun ini rasa-rasanya lebih besar daripada Suwon Station, terutama karena ada toko merchandise besar di tengah-tengah lobi stasiunnya. Di sini, kami punya waktu sampai jam 8.00 malam untuk berjalan-jalan dan makan malam di sekitar stasiun ini. Begitu keluar, hm, ternyata suasana di jalanan tidak seramai yang saya bayangkan. Cuma ada toko 24 jam, beberapa kios kecil, dan pedagang kaki lima yang menjual topokki. Tapi, setelah kami berjalan cukup jauh, ternyata banyak minimarket yang menjual jajanan dan makanan-makanan berlabel halal. Ini mungkin yang menjadi salah satu nilai plus Daejeon di mata saya dibandingkan dengan Suwon. Biasanya kami harus pergi ke Itaewon di Seoul kalau ingin menikmati daging halal dan membeli stok bumbu-bumbu Indonesia sehingga rasa-rasanya kurang convenient. Di Daejeon, meskipun tokonya kecil, tapi setidaknya bisa memuaskan dahaga kami akan produk-produk halal.

P.s. sebenernya di sini ujung-ujungnya kami makan seafood di restoran yang ga ada label halalnya juga, sih. Haha.




Daejeon Station juga menyimpan kenangan istimewa untuk Dhillah dan Vio. Pada saat itu, saya dan Ihsane sedang libur sholat, jadi hanya Dhillah dan Vio yang punya kewajiban untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya. Jelas di sana tidak ada fasilitas musholla seperti stasiun-stasiun di Indonesia, sehingga kami harus 'hunting' tempat sholat sendiri. Sebelum keluar untuk mencari makan, kami sempat menandai spot-spot yang sekiranya tidak mencolok untuk sholat. Namun, setelah dipikir-pikir, ternyata tempat-tempat itu tetap berpotensi besar untuk menarik perhatian orang. Apalagi ada banyak ahjumma-ahjumma homeless yang berkeliaran di pojokan-pojokan. (Kalau di Seoul, segalanya bersih rapi kinclong tanpa ada gelandangan yang boleh masuk ke dalam stasiun. Nah, di Suwon, Daejeon, dan Busan terutama, banyaaakk sekali gelandangan-gelandangan yang tidur di lorong kereta. Sedih lihatnya.) Opsi terakhir yang bisa direalisasikan adalah sholat di balkon luar. Jadi selain pintu untuk emergency exit, di stasiun itu ada pintu yang mengarah ke balkon belakang dari stasiun. Tempatnya sepi dan tidak ada pegawai yang akan iseng masuk ke sana, tapi balkon itu langsung mengarah ke alam. Jadi sembari sholat, pasti akan ada godaan syaiton berupa hembusan angin di musim semi yang sangat kencang. Huhu what a moment, guys.


Perkenalkan ini teman perjalanan saya, dari kiri Risti, Dhillah, Yinting, Vio, dan Ihsane.

Story #5: Busan? Dealing with Homeless and Drunk Man
Singkat cerita, kami sampai di Busan Station sekitar jam 12 dini hari. Rencana awalnya, kami akan menginap di stasiun ini sampai subway di stasiun beroperasi jam lima pagi. Dari subway di Busan, kami hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke penginapan.


Ketika kami sampai, suasana di lobby stasiun masih cukup ramai meskipun di beberapa tempat kios-kios sudah tutup dan lampu-lampu mulai dimatikan. Beberapa orang masih menunggu jemputan dan sisanya adalah gelandangan-gelandangan yang sedang bersiap-siap mencari spot untuk tidur. Well, since it is Korea, saya berekspektasi bahwa gelandangan-gelandangan tersebut akan bersikap layaknya gelandangan di Seoul: acuh tak acuh dan membiarkan kami dengan dunia kami sendiri. Ternyata, hanya beberapa menit setelah kami duduk di lobby, ada bapak-bapak yang sangat bau alkohol dan pastinya sedang mabuk datang mendekat dan berbicara: "money, money!" Sontak kami kaget dan refleks mencari receh 500 won untuk diberikan ke beliau. Sialnya, datanglah gelandangan-gelandangan lain yang sama-sama juga meminta uang. Saya dan teman-teman berusaha mengelak dan tidak menghiraukan mereka, tetapi mereka juga sama-sama keras kepalanya untuk meminta uang. Seriously bahkan tidak ada satupun satpam yang berkenan untuk membantu kami mengusir para pengemis itu. Woah jinjja. Sepertinya mereka sendiri juga sudah angkat tangan untuk mengurus para homeless yang agresif itu. Kejadian ini alhamdulillah berakhir ketika gelandangan-gelandangan itu akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pergi mencari mangsa lain.



Tapi, bala belum berhenti sampai di situ. Jam dua pagi, kami diusir dari stasiun dengan alasan stasiunnya akan ditutup. Kereta terakhir sudah sampai di Busan sehingga para penjaga malam itu bebas tugas dan bersiap untuk pulang ke rumah. Kami kembali dilanda kepanikan karena tidak mempersiapkan plan B dengan matang. Penumpang-penumpang lain juga sudah pulang sehingga hanya tersisa kami, gelandangan, dan satu toko 24 jam. Toko ini juga tidak menyediakan tempat untuk nongkrong sehingga kami tidak bisa menggunakannya sebagai tempat untuk temporary stay. Namun untuk sementara waktu, kami membeli sedikit jajanan di toko 24 jam itu sampai akhirnya memutuskan untuk pergi ke jimjjilbang atau sauna terdekat demi keamanan. Tapi masalahnya, sekali masuk sauna itu mahal, sekitar 12.000 won untuk sekali masuk. Belum lagi biaya taksi ke sauna dan dari sauna ke penginapan esok harinya. Ribet sekaligus costly padahal kami semua memiliki budget constraint yang sangat besar. Sambil berdiskusi dan berjalan ke depan stasiun, kamipun menemukan keanehan selanjutnya: ada seorang om-om yang sedari tadi membuntuti kita berlima. Oh my God it's sooo creepy. Bayangan negatif langsung bermunculan dan kami berlima semakin takut untuk naik taksi ke sauna. Beruntunglah ternyata ada Lotteria 24 Jam yang masih buka di seberang jalan. Tanpa berpikir panjang, kami langsung menyeberang dan masuk ke sana dengan harapan si bapak itu nggak akan membuntuti kami lagi. Jawabannya: Deng! Ya Allah, bapaknya ikut juga ke dalam dan duduk tepat di seberang kita. Bahkan dia malah semakin jelas melihat ke arah kita sambil senyum-senyum menyeramkan. Saya panik dan berusaha ngomong ke kasir kalau kami sedang diikuti orang gila, tapi sayang sekali mas-masnya tidak mengerti bahasa Inggris sehingga dia cuma: "ha?" sambil geleng-geleng.

Pada saat itu, kami sudah capek dan ngantuk, kecuali Ihsane. Dia menawarkan diri untuk berjaga sampai pagi karena dia sendiri parno dengan kelakuan si bapak penguntit tadi. Kocaknya, Dhillah malah menasehati kami dengan pikiran positifnya kalau: "Bapak itu nggak jahat, mungkin dia itu dikirim oleh Allah untuk melindungi kita. Siapa tahu dia mengikuti kita karena dia takut kita tersesat atau apa. Kan udah malam." Oh, no, Dhil. Not with that creepy smile on his face. Singkat cerita, kamipun bergantian untuk tidur sampai jam lima pagi, sampai subway ke penginapan kami tersedia.

----bersambung









Monday, October 17, 2016

Stranger Talk

Cerita ini murni merupakan pengalaman pribadi penulis dan tidak ditujukan untuk menyerang golongan manapun. Saya hanya memiliki burden untuk menulis PoV seseorang dan mengabadikan sebuah momen berharga dalam hidup.

This story began about a month after my recidency in Korea as an exchange student. Sedikit banyak saya sudah memahami rute dan sistem transportasi umum di Korea, baik bus maupun metro. Rute paling krusial yang harus saya ingat adalah Suwon-Seoul; mengingat saya yang tinggal di Suwon dan kegiatan-kegiatan volunteer yang saya ikuti mayoritas took place in Seoul. Selain itu, objek wisata di Korea juga terkonsentrasi di Seoul, so if you want to get the Korean hype, you have to go there.

Suatu hari, saya ada janji meeting jam 11 pagi di daerah Jongno. Dari rute yang diberikan oleh panitia, saya bisa berjalan kaki ke venue dari stasiun Jonggak atau Anguk. Kesimpulannya, saya harus naik metro dari Suwon ke Jonggak/Anguk. Rute ini memakan waktu agak lama karena memutar jauh, yah ibaratnya mau ke Bogor dari Jatinegara tapi muter lewat Duri mungkin. Dari kampus, saya masih harus naik bus dulu ke stasiun Suwon yang memakan waktu sekitar 30 menit. Jadi, setelah dihitung-hitung risikonya, paling aman kalau saya berangkat jam 9 dari asrama. Fyi, di Korea, keterlambatan itu kurang bisa ditoleransi. Lebih baik jadi pihak yang nungguin daripada ditungguin orang. Malu.

Kebetulan meetingnya diadakan di hari Sabtu, jadi ketika saya keluar dari asrama untuk memulai perjalanan, suasana kampus sangat amat sepi. Pas setelah melewati kompleks asrama, ada seorang laki-laki (prediksi: umur 25) berparas timur tengah yang sepertinya juga mau pergi halte bus. Mungkin karena saya berhijab, laki-laki itu tersenyum dan mengucapkan salam sembari menjajari saya untuk berjalan.

Ya sebenernya takut juga sih disapa stranger. Tapi, mengingat dia ini keluar dari asrama, berarti dia juga mahasiswa.

Saya hanya menjawab ala kadarnya saja, not sound too excited but respecting. Pembicaraan secara umum berkisar di status mahasiswa, negara asal, dan major di kampus. Dari percakapan singkat, ternyata orang ini adalah mahasiswa master degree yang berasal dari Pakistan.

I was like, oh wow Pakistan. Sebenernya jujur pas itu saya kebayangnya Palestina, tapi ternyata Pakistan beda dengan Palestina hehe.

Pada saat itu dia juga bertanya; "where are you going?" Saya cuma bilang saya mau ke Jonggak, ketemu sama temen. Saya mau naik bus ke Suwon Station kemudian naik metro ke Jonggak. Pada saat itu dia langsung tergelak, "really? You're going to Seoul but you're taking metro from Suwon? It just a waste of time." Singkatnya, karena dia sama-sama mau ke Seoul juga buat kerja part-time, akhirnya dia menunjukkan jalan yang lebih cepat, which is naik bus ke Sadang, kemudian baru naik metro dari stasiun itu. "I'm going to Seoul too, but from Sadang, I have to take a different route so you have to survive by yourself then," tambahnya. Setelah saya setuju, kamipun naik bus ke Sadang bersama-sama.

Bus di Korea pasti memiliki dua layar LCD yang menampilkan iklan-iklan, satu di depan dan satu di belakang. Kebetulan waktu itu, ada sebuah video tentang Malala yang diputar oleh perusahaan bus. Begitu melihat muka Malala, orang ini langsung bertanya, "do you know her? What do you know about her?" Jujur, saya langsung merasa bego. Saya cuma tahu kalau Malala itu aktivis dari Pakistan yang bertahan hidup walaupun ditodong oleh penjajah. Malala juga dapet nobel dan recently dia meresmikan sebuah sekolah. Only that.

Reaksi yang saya ekspektasi dari dia selanjutnya adalah: kebanggaan terhadap Malala. Ya, wajarlah sama-sama orang Pakistan dan ada pioneer negaranya yang concern terhadap human rights sampe dapet nobel, masa iya responnya negatif?

Dan faktanya, dia malah mendengus dan bilang, "dia itu cuma alat yang dipake sama penjajah buat propaganda." Saya kaget, and demands him to tell more about his view. Diapun bercerita tentang status quo di Pakistan sekarang ini, dimana ternyata mayoritas orang malah nggak respect ke Malala. Dulu, ketika kasus pembajakan bus terjadi, dunia hanya tahu bahwa Malala adalah sosok yang membangkang terhadap penjajah. Padahal, menurut ceritanya, Malala survive karena dia satu-satunya orang di bus yang tidak memakai hijab. I was like, @{_$※◇{\. Dia kemudian melanjutkan bahwa ayah Malala itu punya koneksi ke petinggi-petinggi negara barat.

"Coba kamu lihat aja dia sekarang, ya berhijab sih berhijab. Tapi apa iya dia menutup sesuai ketentuan muslim? Pas pembajakan bus, orang-orang yang berhijab kaya kamu ini dibunuh semua. Ditembak di tempat. Cuma Malala yang nggak diapa2in karena dia punya power dan dia memang aslinya tidak menggunakan tudung kepala," jelasnya.

Setelah itu, dia kemudian diberi semacam perlindungan untuk mendapat entah paspor atau kewarganegaraan (saya lupa) di negara barat.

"Ya dia emang bikin sekolah itu baru-baru ini. Tapi emang apa lagi kontribusi dia? Perang juga masih berlangsung tuh sekarang? Penembakan anak-anak juga masih ada. Dan seharusnya, kalau dia memang punya spirit menjadi aktivis, dia nggak akan pindah dan hidup enak dapet imunitas di negara orang. Kudunya dia tinggal di Pakistan dan berjuang buat mengusir mereka dari tanah kita."

Sepanjang perjalanan, saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ternyata dunia ini sudah dikuasai oleh kepentingan-kepentingan politik yang kekuatannya sudah beyond dari apa yang bisa saya bayangkan. Pada akhirnya, kondisi ekonomi akan berdampak pada sosio-politik juga dimana 1% populasi dunia inilah yang benar-benar akan mendominasi 99% lainnya melalui power yang mereka miliki.

Semenjak itu, saya semakin merasa bahwa media memang punya peran yang sangat penting dalam men-drive pemikiran orang. Saya juga tidak sepenuhnya percaya dengan orang Pakistan tadi karena bisa jadi dia juga dipengaruhi oleh interest tertentu. Namun, penuturannya yang benar-benar membalikkan apa yang selama ini diagung-agungkan media itulah yang saya kagumi.

Pada akhirnya, jangan melihat masalah dari satu sisi saja. Analisis anda mungkin benar, tapi pasti ada analisis lain yang beyond dari kebenaran yang selama ini anda yakini.

Have a nice day!

Friday, October 14, 2016

Sholat & Adzan: Tolerance between Roommates

Selama 20 tahun, gue belum pernah bener-bener hidup sekamar bareng sama orang lain. Temen-temen emang suka nginep atau sekedar numpang tidur di kamar, tapi ya hanya sebatas itu. Mereka nggak akan jadi orang yang bebas keluar-masuk kamar karena ya cuma jadi tamu, sedangkan kepemilikan utama tetep ada di gue, seorang diri. Sayangnya, semua kamar di Ajou international dorm mewajibkan penghuninya untuk berbagi lapak dengan orang lain dengan komposisi dua orang sekamar, satu mahasiswa asli Korea dan satu mahasiswa foreigner.

Awalnya, gue lumayan deg-degan. Takut kalau-kalau si roommate nggak bisa menerima gue karena faktor budaya atau agama. Selain itu, isu-isu tentang privasi juga menghantui pikiran gue. Khawatir dia ngapa-ngapain barang gue kalo gue lagi nggak di kamar. Belum lagi bayangan mahasiswa-mahasiswa Korea yang emang terbiasa minum soju sampe mabuk tengah malam. Yha serem aja kalo tiba-tiba roommate gue masuk kamar sambil ga sadar dan bau alkohol gitu. 

Lanjut. Hari pertama kami bertemu, dia dateng ke kamar sekitar jam 12 siang. Kebetulan pada saat itu lagi ada temen gue dari Maroko yang main ke kamar, jadi dia bisa gue manfaatkan buat bantu-bantu mencairkan suasana. Si roommate ini bawa empat kardus besar yang isinya barang-barang macem sprei, baju, sepatu, dan daily needs lainnya. Ini cuma intermezo aja, jadi dia paketin itu semua barangnya dari rumah. Terus dia naik bus dari rumah ke asrama, tapi cuma bawa tas tangan biasa aja jadi ga ribet. Keren sih. 

Waktu dia dateng, gue belum sholat Dzuhur. Setelah basa-basi kenalan, gue pun ngomong ke temen Maroko gue, "eh ajakin roommate ngobrol dulu ya. Gue mau wudhu dulu, belom sholat." Fyi mahasiswa Maroko ini muslim juga jadi kita enggak sungkan satu sama lain. Setelah wudhu di toilet, guepun sholat di kamar. Space tempat sholat gue ini kehalang sama dinding meja belajar roommate, makanya dia tetep ngobrol sama temen Maroko tanpa memperhatikan gue. Tapi kemudian, pas gue sholat rakaat kedua, dia sadar kalo gue lagi melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Gue denger dia sempet manggil-manggil: "Risti? Are you okay?" atau semacem itulah. Temen Maroko cuma balas: "selo dia lagi sholat," kemudian mereka melanjutkan pembicaraan lagi. 

Lama kemudian, temen Maroko ini balik ke kamarnya di lantai atas. Tinggallah kita berdua di kamar. Pas itu, barrier di antara kita udah nggak setebel pas baru ketemu. Gue juga udah jelasin kalo gue muslim dan berhijab. Si roommate pun (kayanya) memberanikan diri bertanya: "Risti what are you doing earlier? Is it bowing?" Gue rada bingung juga kenapa dia ngomongnya bowing, bukan praying. Istilah yang umum digunakan kan pray. Iya, kan? Mungkin karena banyak orang Buddha di sana jadi mereka mengasosiasikan sholat sebagai bowing. Gue jelasinlah ke dia kalau gue tadi sholat, kewajiban agama, and I have to do that five times a day. Dia kaget gitu kaya, "eii?? Really? Aren't you tired?" Gue cuma senyum-senyum dan haha hihi aja.

Akhirnya, tibalah malam pertama kita tidur bersama. Selama di Korea, gue pake sebuah aplikasi yang adzannya bunyi agak kenceng. Ya maklum, lagi winter subuhnya aja setengah enem. Kan wajib harus menyesuaikan rotasi matahari di sana. Apalagi ga ada adzan kenceng dari masjid layaknya di Indonesia, jadi emang kudu punya reminder sendiri. 

Paginya, bunyilah ini adzan pas masuk waktu Subuh. Kebetulan juga, gadget gue taruh di meja belajar dengan kondisi speaker di atas, bukan di samping kasur. Pas mulai kedengeran: "Allaahu akbar Allaahu akbar," rommate gue tiba-tiba bangun sambil teriak-teriak pake bahasa Korea campur Inggris. "MWOYA?? IGE MWOYA?? RISTII!! WHAT HAPPENED?? SOMEONE IS SCREAMING NEAR US!!"

Gue...... 

Panik dan bingung......

Dia literally yang menyibakkan selimut sambil noleh kanan kiri panik seolah-olah ada hantu lagi nereakin dia.

Gue otomatis bangun juga dan menenangkan dia sambil ngomong: "No, no, it's okay. It's my reminder to sholat. Nothing bad. You can go back to sleep, Roommate," sambil nepuk2 punggung doi. Sampai sini gue mikir, aduh susah nih kalo dia sensitif sama bunyi alarm. Masa iya gue subuh ga pake reminder kan pasti kelewatan (hehe). 

Kocaknya lagi, dia cuma: "Really?" kemudian balik bobok lagi. Terus habis balik ambil wudhu, dia udah ngorok. Serah lah mbak. Habis kejadian itu, gue ganti alarm gue jadi alarm dengan common ringtone di HP, yang itu berarti gue harus adjust waktunya setiap hari. Kebetulan waktu itu lagi masa transisi dari winter ke spring, jadi bener-bener kerasa banget yang sebelumnya jam tujuh pagi aja matahari baru terbit, sampai pada akhirnya matahari terbit jam setengah enaman. 

Siangnya, roommate inget kejadian pagi tadi dan nanya: "Ris, tadi itu kenapa ya? Kok kaya ada bapak-bapak masuk ke kamar kita terus teriak-teriak. Padahal gue yakin pintu kamarnya udah gue tutup." 

Q lelah. Ya, reaksi gue otomatis ketawa sih. Sebegitunya ya orang awam memandang kebiasaan-kebiasaan beragama yang emang nggak common di kehidupan mereka. Pada akhirnya, gue menjelaskan dari A sampai Z kalo suara itu tadi namanya adzan. Adzan itu panggilan buat sholat, buat praying. Kalo lo tinggal di Indonesia, lo bakal denger adzan ini five times a day, sesuai dengan waktu masuknya shalat. Terus, suara ini juga bakal di speaker dari masjid jadi kedengeran buat semua orang meskipun lo non-muslim dan tidak berkewajiban untuk sholat. Then, her response be like: "Jadi, Ris, kalo aku ke Indonesia, tiap pagi aku bakal denger suara bapak-bapak teriak-teriak itu?" And I was like: "Um.... yeah?"

Seiring berjalannya waktu, roommate gue pun jadi ngerti tentang praktek-praktek agama Islam dan dia juga menghormati itu. Pernah juga ketika weekend dia menghabiskan seharian di kamar dan menyaksikan gue sholat lima kali. Pas mau sholat ashar, dia sempet nyeletuk: "Again? You do this again?" sambil geleng-geleng kepala dengan muka takjub. Meskipun pada akhirnya dia masih stay dengan ke-atheis-annya (gue gagal meng-Islamkan dia LOL), gue menghormati apa yang menjadi pilihannya dan dia juga menghormati apa yang menjadi pilihan gue. Setiap kita mau makan, dia pasti juga berusaha nyariin makanan vegetarian. Apalagi ketika puasa ramadhan, dia juga berusaha untuk makan di dapur, padahal biasanya kita selalu makan bareng di kamar. Niceee.

At last, I took my faith seriously but I don't want to make it scary.
Semoga kalian yang mau hidup di muslim-minority country bisa mengaplikasikan ajaran-ajaran agama kalian dengan baik dan beradab. Semoga cerita ini juga tidak dianggap sebagai hal yang negatif; because I just merely love in the idea of diversity :D

Thursday, October 13, 2016

Exchange Student (part 2 - Global Korea Scholarship)

Well I'm not going to explain GKS in detail, so if you need a further official information, please kindly check NIIED webpage. As far as I know, this scholarship also provides some sort of funding for master and doctoral degree.

This scholarship is famous (at least among us, UI student) as it is issued by Korea's Ministry of Education. They kindly offers you a monthly stipends (₩500,000/month), settlement fee (₩200,000), insurance coverage (₩80,000), and two-round flight ticket from your home country to Korea. Pretty attractive, right?

Before getting too much hype, make sure that your Korean university (destination school) listed in GKS/KGSP grantee. I think I got this information from NIIED's official webpage so maybe you can re-check it. Only top-20 universities in Korea got the chance to be selected.

After that, in my case, you need to pass two different selection process. The first process conducted in your home university, the later will took place in Korea.

My home university only recommend one student per destination. For instance, UI delegating two exchange students in SNU and two exchange students in Ajou, but only one student in SNU and one student in Ajou had the chance to apply. Well, UI also gave some sort of scholarship if you happened to fail this GKS, but we have to deal with their bureaucracy- so I still believe that GKS is the best option. This university recommendation is important since students can not apply for GKS by themselves.

Then, you have to submit the required documents within the deadline. This one is pretty harsh since they only gave you 1-2 days until the due. This documents consist of student transcript, self-introduction essay and study-plan essay. In Korea, they have a 4.5 maximum GPA index, so if your country adopt a different regime, you have to convert your grade. As for study plan, you only need to explain which subject are you going to take in Korea, and why. Make sure to check the university's syllabi before writing this essay. GKS awardee also required to take at least one subject focused in Korean development, so make sure that you put this course in your study arrangement. I'll suggest you to, at least, prepare your essay's outline directly after you are choosen as an exchange delegate because you don't have much time between GKS notification and submission deadline.

After that, Korean government & university will proceed your application. I'm not sure about the government's criteria of selection. As far as I know, they only choose 5 awardee per university. In Ajou University Spring 2016, along with me, there also a student from Finland, Germany, USA, and France.

The selection process will take more than a month; definitely leaving me hanging. I just got the acceptance news about two weeks before my flight. Some students got the announcement right before their departure to Korea.

If you need references for GKS essays don't hesitate to e-mail me through risti.hayu@gmail.com.  I hope it helped. Good luck!

Wednesday, October 12, 2016

Student Exchange (Part 1 - Preparation)

Not really exciting, but tiring. This is how I'm going to tell ya the whole process of bureaucracy, administration, and everything that come before I officially selected as an exchange student.

First, if you want to now something: just ask. If you have no courage (sometimes it happened to me- well, INFJ): google. That's the right place of finding what you really need. For me, I want to study abroad, but I don't want to crash my savings. Thus, among all the exchange programs available, I sort of picking the one that matched with my need.

Second, why would I choose Korea? I simply decide because they offer you a fully funded program called GKS (Global Korea Scholarship). I trace the former awardees of this scholarship and ask them for advice; how to apply and calculate the possibility of passing the selection. After a mini-research, thanks to our campus' good reputation, this GKS acceptance in UI is nearly 100%. So, why bother to choose others? ã…‹ã…‹
Besides, I studied in Economics & Business faculty which are proven to be the key sector upon Korea development up to this day.

Third, make sure you prepare the documents FAR before the deadline. Well, sometimes they're going to be harsh; the international office only spare a week between their open recruitment announcement and submission deadline. Meanwhile, they ask you to submit TOEFL score, recommendation letter, motivation letter, and such documents that is impossible to settle in a week (for further information about documents' requirement in my campus please access international.ui.ac.id). For me, I proceed the recommendation letter from my faculty's dean in a month. TOEFL test will take you about two weeks, and motivation letter only cost me around two days.

Fourth, international office staff will inform you about the interview date soon after the open registration due. The head of international office will face you herself; so please be prepared. As in my experience, you have to convince them why you are the most suitable candidate, what is your future plans, and how this program will benefit you.

Last, make sure that you are available for calls because they did not state a clear time upon when will you receive the announcement. Also frequently check your e-mails because in some case, they wrote to you.

Hope this article help you! Have a faith! :D