Sunday, February 19, 2017

Trip to Busan - part 1

Hm, mungkin dari penuturan saya terdahulu baik secara langsung maupun lewat media sosial, kehidupan saya selama mengalami pertukaran pelajar di Korea terkesan baik-baik saja dan/atau malah cenderung terlihat sangat menyenangkan. In this post (and the next posts), saya akan mencoba menulis juga beberapa kejadian-kejadian negatif yang nyata terjadi di negara tersebut. Cerita ini nggak mengada-ngada, dan terjadi atas ketidaksengajaan saya.

Suatu hari, saya dan teman-teman saya (hi Vio, Dhillah, Yinting, and Ihsane if you read this ㅋㅋㅋ) berencana untuk jalan-jalan ke Busan. Yap, kota ini adalah kota terbesar kedua di Korea setelah Seoul sekaligus destinasi wisata para turis selain Seoul dan Jeju-do, makanya dia semacam jadi a-must-visit place in Korea lah. Layaknya mahasiswa pada umumnya, kita akan share pengalaman jalan-jalan low-cost dengan booking penginapan online yang paling murah dan naik kereta yang paling ekonomis-- meskipun dengan sejuta konsekuensi setelahnya. So, here we go.

Story #1: Beli tiket kereta antar-kota
Di Korea ini, pemesanan tiket kereta antar-kota secara online hanya bisa dilakukan melalui credit card payment. Berhubung kami semua hanya punya debit card, maka satu-satunya cara yang bisa diambil adalah membeli secara langsung di loket stasiun. Setelah berdiskusi tentang waktu keberangkatan, saya bertugas menjadi eksekutor pembelian tiket bersama Vio di Suwon Station. Sesampainya di stasiun, kami dengan noraknya berasumsi kalo mesin tiket subway bisa dipake juga untuk membeli tiket kereta antar kota. Sempet makan waktu lebih kurang 20 menit sampai akhirnya kami menyerah untuk mengutak-atik si mesin penjual tiket. Beruntung, tidak lama setelah kepasrahan itu, kami berhasil menemukan petunjuk arah menuju ke loket yang ternyata ada di lantai atas Suwon Station. Stasiun ini emang agak bikin pusing karena dia menyatu dengan subway dan mall, jadi kita juga sempet bickering: "bukan, itu arah ke mall." "Eh, enggak ini beda lift!" dst dsb. 

Lanjut, ternyata lagi, pemesanan tiket ini tidak dilakukan di loket, melainkan melalui mesin pemesanan khususnya sendiri. Bagian ini sebenernya tidak terlalu sulit karena kami tinggal pencet-pencet jurusan dan jumlah tiket yang mau dibeli. Setelah itu, tiketnya akan otomatis tercetak. Mesin-mesin di Korea itu benar-benar foreigner friendly, artinya, semuanya dilengkapi dengan Bahasa Inggris sehingga sangat mudah untuk digunakan.

Kebetulan juga saat itu kami pergi di libur long weekend, jadi rute kereta yang langsung satu kali jalan dari Suwon ke Busan sudah habis terjual. Alternatifnya, kami naik kereta ke Daejeon, transit, kemudian naik kereta lagi dari Daejeon ke Busan. Sedikit bonus buat kami karena ada sedikit waktu untuk menikmati Daejeon, sebuah kota yang kami juga tidak tahu ada apa di sana. Gaya aja.

Tambahan info lagi, kereta antar-kota ini sendiri sebenernya dibagi ke-3 kelas; ada yang namanya KTX, ITX, dan Mugunghwa. Mungkin sebenernya ada lagi tapi saya cuma inget tiga itu haha. KTX itu lebih seperti Shinkansen di Jepang: cepat, terbatas, dan mahal. ITX juga mirip dengan KTX tapi dia berhenti di beberapa stasiun yang KTX tidak berhenti, jadi dia relatif memakan waktu lebih lama dari KTX. KTX sendiri hanya berhenti di stasiun-stasiun besar. Terakhir, terdapat kereta kelas ekonomi yang diberi nama Mugunghwa. Bisa ditebakkah saya naik kereta yang mana? Wkwk.

Story #2: Drama Pre-Keberangkatan
Kereta yang akan kami tumpangi ke Daejeon berangkat jam 5.04 sore. Beberapa dari kami masih harus menghadiri kelas sampai jam 3.30. Plus toleransi waktu untuk sholat ashar, akhirnya kami sepakat untuk ketemuan jam 4.00 di halte bus depan kampus. Sialnya, ada salah satu dosen kami yang menyelesaikan kelas lebih lama dari batas akhir pelajaran sehingga kami benar-benar baru berangkat dari kampus pukul 4.30. Padahal perjalanan via bus dari Ajou University ke Suwon Station minimal harus menempuh waktu 30 menit, itupun belum ditambah lagi dengan kemungkinan macet di jalan. Deg-degan? BANGET! Kita udah beli tiket pulang pergi ke Busan, booking penginapan, planning jalan-jalan ke sana-sini, budgeting, dst dst sampe bener-bener nggak kebayang kalo kita harus gagal di perjalanan ini. Alhasil, begitu turun dari bus, kami langsung lari sekenceng-kencengnya ke peron kereta. Lumayan menguras tenaga karena peron keretanya ada di atas, bukan underground seperti subway. Begitu sampai ke peron dan melihat tracknya masih kosong.... kami langsung menghembuskan nafas lega dan mumbling "alhamdulillah alhamdulillah" sambil ketawa-ketawa juga. Lima menit setelah kami alhamdulillah-an, keretapun datang ♡

Story #3: A glance of Mugunghwa Train
Mungkin kereta yang saya tumpangi ini dikategorikan ke dalam kereta ekonomi di Korea, tapi kualitasnya persis sama dengan kereta eksekutif di Indonesia. Miris, tapi Indonesia juga belum punya KTX sehingga memang itulah fasilitas terbaik yang bisa kita nikmati. Tambahan lagi, ketika membeli tiket, kami tidak menemukan opsi untuk memilih kursi, tapi miraculously kami semuanya duduk berdekatan satu sama lain. 


Story #4: Welcome to Daejeon Station!
Begitu masuk ke Daejeon Station, stasiun ini rasa-rasanya lebih besar daripada Suwon Station, terutama karena ada toko merchandise besar di tengah-tengah lobi stasiunnya. Di sini, kami punya waktu sampai jam 8.00 malam untuk berjalan-jalan dan makan malam di sekitar stasiun ini. Begitu keluar, hm, ternyata suasana di jalanan tidak seramai yang saya bayangkan. Cuma ada toko 24 jam, beberapa kios kecil, dan pedagang kaki lima yang menjual topokki. Tapi, setelah kami berjalan cukup jauh, ternyata banyak minimarket yang menjual jajanan dan makanan-makanan berlabel halal. Ini mungkin yang menjadi salah satu nilai plus Daejeon di mata saya dibandingkan dengan Suwon. Biasanya kami harus pergi ke Itaewon di Seoul kalau ingin menikmati daging halal dan membeli stok bumbu-bumbu Indonesia sehingga rasa-rasanya kurang convenient. Di Daejeon, meskipun tokonya kecil, tapi setidaknya bisa memuaskan dahaga kami akan produk-produk halal.

P.s. sebenernya di sini ujung-ujungnya kami makan seafood di restoran yang ga ada label halalnya juga, sih. Haha.




Daejeon Station juga menyimpan kenangan istimewa untuk Dhillah dan Vio. Pada saat itu, saya dan Ihsane sedang libur sholat, jadi hanya Dhillah dan Vio yang punya kewajiban untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya. Jelas di sana tidak ada fasilitas musholla seperti stasiun-stasiun di Indonesia, sehingga kami harus 'hunting' tempat sholat sendiri. Sebelum keluar untuk mencari makan, kami sempat menandai spot-spot yang sekiranya tidak mencolok untuk sholat. Namun, setelah dipikir-pikir, ternyata tempat-tempat itu tetap berpotensi besar untuk menarik perhatian orang. Apalagi ada banyak ahjumma-ahjumma homeless yang berkeliaran di pojokan-pojokan. (Kalau di Seoul, segalanya bersih rapi kinclong tanpa ada gelandangan yang boleh masuk ke dalam stasiun. Nah, di Suwon, Daejeon, dan Busan terutama, banyaaakk sekali gelandangan-gelandangan yang tidur di lorong kereta. Sedih lihatnya.) Opsi terakhir yang bisa direalisasikan adalah sholat di balkon luar. Jadi selain pintu untuk emergency exit, di stasiun itu ada pintu yang mengarah ke balkon belakang dari stasiun. Tempatnya sepi dan tidak ada pegawai yang akan iseng masuk ke sana, tapi balkon itu langsung mengarah ke alam. Jadi sembari sholat, pasti akan ada godaan syaiton berupa hembusan angin di musim semi yang sangat kencang. Huhu what a moment, guys.


Perkenalkan ini teman perjalanan saya, dari kiri Risti, Dhillah, Yinting, Vio, dan Ihsane.

Story #5: Busan? Dealing with Homeless and Drunk Man
Singkat cerita, kami sampai di Busan Station sekitar jam 12 dini hari. Rencana awalnya, kami akan menginap di stasiun ini sampai subway di stasiun beroperasi jam lima pagi. Dari subway di Busan, kami hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke penginapan.


Ketika kami sampai, suasana di lobby stasiun masih cukup ramai meskipun di beberapa tempat kios-kios sudah tutup dan lampu-lampu mulai dimatikan. Beberapa orang masih menunggu jemputan dan sisanya adalah gelandangan-gelandangan yang sedang bersiap-siap mencari spot untuk tidur. Well, since it is Korea, saya berekspektasi bahwa gelandangan-gelandangan tersebut akan bersikap layaknya gelandangan di Seoul: acuh tak acuh dan membiarkan kami dengan dunia kami sendiri. Ternyata, hanya beberapa menit setelah kami duduk di lobby, ada bapak-bapak yang sangat bau alkohol dan pastinya sedang mabuk datang mendekat dan berbicara: "money, money!" Sontak kami kaget dan refleks mencari receh 500 won untuk diberikan ke beliau. Sialnya, datanglah gelandangan-gelandangan lain yang sama-sama juga meminta uang. Saya dan teman-teman berusaha mengelak dan tidak menghiraukan mereka, tetapi mereka juga sama-sama keras kepalanya untuk meminta uang. Seriously bahkan tidak ada satupun satpam yang berkenan untuk membantu kami mengusir para pengemis itu. Woah jinjja. Sepertinya mereka sendiri juga sudah angkat tangan untuk mengurus para homeless yang agresif itu. Kejadian ini alhamdulillah berakhir ketika gelandangan-gelandangan itu akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pergi mencari mangsa lain.



Tapi, bala belum berhenti sampai di situ. Jam dua pagi, kami diusir dari stasiun dengan alasan stasiunnya akan ditutup. Kereta terakhir sudah sampai di Busan sehingga para penjaga malam itu bebas tugas dan bersiap untuk pulang ke rumah. Kami kembali dilanda kepanikan karena tidak mempersiapkan plan B dengan matang. Penumpang-penumpang lain juga sudah pulang sehingga hanya tersisa kami, gelandangan, dan satu toko 24 jam. Toko ini juga tidak menyediakan tempat untuk nongkrong sehingga kami tidak bisa menggunakannya sebagai tempat untuk temporary stay. Namun untuk sementara waktu, kami membeli sedikit jajanan di toko 24 jam itu sampai akhirnya memutuskan untuk pergi ke jimjjilbang atau sauna terdekat demi keamanan. Tapi masalahnya, sekali masuk sauna itu mahal, sekitar 12.000 won untuk sekali masuk. Belum lagi biaya taksi ke sauna dan dari sauna ke penginapan esok harinya. Ribet sekaligus costly padahal kami semua memiliki budget constraint yang sangat besar. Sambil berdiskusi dan berjalan ke depan stasiun, kamipun menemukan keanehan selanjutnya: ada seorang om-om yang sedari tadi membuntuti kita berlima. Oh my God it's sooo creepy. Bayangan negatif langsung bermunculan dan kami berlima semakin takut untuk naik taksi ke sauna. Beruntunglah ternyata ada Lotteria 24 Jam yang masih buka di seberang jalan. Tanpa berpikir panjang, kami langsung menyeberang dan masuk ke sana dengan harapan si bapak itu nggak akan membuntuti kami lagi. Jawabannya: Deng! Ya Allah, bapaknya ikut juga ke dalam dan duduk tepat di seberang kita. Bahkan dia malah semakin jelas melihat ke arah kita sambil senyum-senyum menyeramkan. Saya panik dan berusaha ngomong ke kasir kalau kami sedang diikuti orang gila, tapi sayang sekali mas-masnya tidak mengerti bahasa Inggris sehingga dia cuma: "ha?" sambil geleng-geleng.

Pada saat itu, kami sudah capek dan ngantuk, kecuali Ihsane. Dia menawarkan diri untuk berjaga sampai pagi karena dia sendiri parno dengan kelakuan si bapak penguntit tadi. Kocaknya, Dhillah malah menasehati kami dengan pikiran positifnya kalau: "Bapak itu nggak jahat, mungkin dia itu dikirim oleh Allah untuk melindungi kita. Siapa tahu dia mengikuti kita karena dia takut kita tersesat atau apa. Kan udah malam." Oh, no, Dhil. Not with that creepy smile on his face. Singkat cerita, kamipun bergantian untuk tidur sampai jam lima pagi, sampai subway ke penginapan kami tersedia.

----bersambung









No comments:

Post a Comment