Monday, October 17, 2016

Stranger Talk

Cerita ini murni merupakan pengalaman pribadi penulis dan tidak ditujukan untuk menyerang golongan manapun. Saya hanya memiliki burden untuk menulis PoV seseorang dan mengabadikan sebuah momen berharga dalam hidup.

This story began about a month after my recidency in Korea as an exchange student. Sedikit banyak saya sudah memahami rute dan sistem transportasi umum di Korea, baik bus maupun metro. Rute paling krusial yang harus saya ingat adalah Suwon-Seoul; mengingat saya yang tinggal di Suwon dan kegiatan-kegiatan volunteer yang saya ikuti mayoritas took place in Seoul. Selain itu, objek wisata di Korea juga terkonsentrasi di Seoul, so if you want to get the Korean hype, you have to go there.

Suatu hari, saya ada janji meeting jam 11 pagi di daerah Jongno. Dari rute yang diberikan oleh panitia, saya bisa berjalan kaki ke venue dari stasiun Jonggak atau Anguk. Kesimpulannya, saya harus naik metro dari Suwon ke Jonggak/Anguk. Rute ini memakan waktu agak lama karena memutar jauh, yah ibaratnya mau ke Bogor dari Jatinegara tapi muter lewat Duri mungkin. Dari kampus, saya masih harus naik bus dulu ke stasiun Suwon yang memakan waktu sekitar 30 menit. Jadi, setelah dihitung-hitung risikonya, paling aman kalau saya berangkat jam 9 dari asrama. Fyi, di Korea, keterlambatan itu kurang bisa ditoleransi. Lebih baik jadi pihak yang nungguin daripada ditungguin orang. Malu.

Kebetulan meetingnya diadakan di hari Sabtu, jadi ketika saya keluar dari asrama untuk memulai perjalanan, suasana kampus sangat amat sepi. Pas setelah melewati kompleks asrama, ada seorang laki-laki (prediksi: umur 25) berparas timur tengah yang sepertinya juga mau pergi halte bus. Mungkin karena saya berhijab, laki-laki itu tersenyum dan mengucapkan salam sembari menjajari saya untuk berjalan.

Ya sebenernya takut juga sih disapa stranger. Tapi, mengingat dia ini keluar dari asrama, berarti dia juga mahasiswa.

Saya hanya menjawab ala kadarnya saja, not sound too excited but respecting. Pembicaraan secara umum berkisar di status mahasiswa, negara asal, dan major di kampus. Dari percakapan singkat, ternyata orang ini adalah mahasiswa master degree yang berasal dari Pakistan.

I was like, oh wow Pakistan. Sebenernya jujur pas itu saya kebayangnya Palestina, tapi ternyata Pakistan beda dengan Palestina hehe.

Pada saat itu dia juga bertanya; "where are you going?" Saya cuma bilang saya mau ke Jonggak, ketemu sama temen. Saya mau naik bus ke Suwon Station kemudian naik metro ke Jonggak. Pada saat itu dia langsung tergelak, "really? You're going to Seoul but you're taking metro from Suwon? It just a waste of time." Singkatnya, karena dia sama-sama mau ke Seoul juga buat kerja part-time, akhirnya dia menunjukkan jalan yang lebih cepat, which is naik bus ke Sadang, kemudian baru naik metro dari stasiun itu. "I'm going to Seoul too, but from Sadang, I have to take a different route so you have to survive by yourself then," tambahnya. Setelah saya setuju, kamipun naik bus ke Sadang bersama-sama.

Bus di Korea pasti memiliki dua layar LCD yang menampilkan iklan-iklan, satu di depan dan satu di belakang. Kebetulan waktu itu, ada sebuah video tentang Malala yang diputar oleh perusahaan bus. Begitu melihat muka Malala, orang ini langsung bertanya, "do you know her? What do you know about her?" Jujur, saya langsung merasa bego. Saya cuma tahu kalau Malala itu aktivis dari Pakistan yang bertahan hidup walaupun ditodong oleh penjajah. Malala juga dapet nobel dan recently dia meresmikan sebuah sekolah. Only that.

Reaksi yang saya ekspektasi dari dia selanjutnya adalah: kebanggaan terhadap Malala. Ya, wajarlah sama-sama orang Pakistan dan ada pioneer negaranya yang concern terhadap human rights sampe dapet nobel, masa iya responnya negatif?

Dan faktanya, dia malah mendengus dan bilang, "dia itu cuma alat yang dipake sama penjajah buat propaganda." Saya kaget, and demands him to tell more about his view. Diapun bercerita tentang status quo di Pakistan sekarang ini, dimana ternyata mayoritas orang malah nggak respect ke Malala. Dulu, ketika kasus pembajakan bus terjadi, dunia hanya tahu bahwa Malala adalah sosok yang membangkang terhadap penjajah. Padahal, menurut ceritanya, Malala survive karena dia satu-satunya orang di bus yang tidak memakai hijab. I was like, @{_$※◇{\. Dia kemudian melanjutkan bahwa ayah Malala itu punya koneksi ke petinggi-petinggi negara barat.

"Coba kamu lihat aja dia sekarang, ya berhijab sih berhijab. Tapi apa iya dia menutup sesuai ketentuan muslim? Pas pembajakan bus, orang-orang yang berhijab kaya kamu ini dibunuh semua. Ditembak di tempat. Cuma Malala yang nggak diapa2in karena dia punya power dan dia memang aslinya tidak menggunakan tudung kepala," jelasnya.

Setelah itu, dia kemudian diberi semacam perlindungan untuk mendapat entah paspor atau kewarganegaraan (saya lupa) di negara barat.

"Ya dia emang bikin sekolah itu baru-baru ini. Tapi emang apa lagi kontribusi dia? Perang juga masih berlangsung tuh sekarang? Penembakan anak-anak juga masih ada. Dan seharusnya, kalau dia memang punya spirit menjadi aktivis, dia nggak akan pindah dan hidup enak dapet imunitas di negara orang. Kudunya dia tinggal di Pakistan dan berjuang buat mengusir mereka dari tanah kita."

Sepanjang perjalanan, saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ternyata dunia ini sudah dikuasai oleh kepentingan-kepentingan politik yang kekuatannya sudah beyond dari apa yang bisa saya bayangkan. Pada akhirnya, kondisi ekonomi akan berdampak pada sosio-politik juga dimana 1% populasi dunia inilah yang benar-benar akan mendominasi 99% lainnya melalui power yang mereka miliki.

Semenjak itu, saya semakin merasa bahwa media memang punya peran yang sangat penting dalam men-drive pemikiran orang. Saya juga tidak sepenuhnya percaya dengan orang Pakistan tadi karena bisa jadi dia juga dipengaruhi oleh interest tertentu. Namun, penuturannya yang benar-benar membalikkan apa yang selama ini diagung-agungkan media itulah yang saya kagumi.

Pada akhirnya, jangan melihat masalah dari satu sisi saja. Analisis anda mungkin benar, tapi pasti ada analisis lain yang beyond dari kebenaran yang selama ini anda yakini.

Have a nice day!

Friday, October 14, 2016

Sholat & Adzan: Tolerance between Roommates

Selama 20 tahun, gue belum pernah bener-bener hidup sekamar bareng sama orang lain. Temen-temen emang suka nginep atau sekedar numpang tidur di kamar, tapi ya hanya sebatas itu. Mereka nggak akan jadi orang yang bebas keluar-masuk kamar karena ya cuma jadi tamu, sedangkan kepemilikan utama tetep ada di gue, seorang diri. Sayangnya, semua kamar di Ajou international dorm mewajibkan penghuninya untuk berbagi lapak dengan orang lain dengan komposisi dua orang sekamar, satu mahasiswa asli Korea dan satu mahasiswa foreigner.

Awalnya, gue lumayan deg-degan. Takut kalau-kalau si roommate nggak bisa menerima gue karena faktor budaya atau agama. Selain itu, isu-isu tentang privasi juga menghantui pikiran gue. Khawatir dia ngapa-ngapain barang gue kalo gue lagi nggak di kamar. Belum lagi bayangan mahasiswa-mahasiswa Korea yang emang terbiasa minum soju sampe mabuk tengah malam. Yha serem aja kalo tiba-tiba roommate gue masuk kamar sambil ga sadar dan bau alkohol gitu. 

Lanjut. Hari pertama kami bertemu, dia dateng ke kamar sekitar jam 12 siang. Kebetulan pada saat itu lagi ada temen gue dari Maroko yang main ke kamar, jadi dia bisa gue manfaatkan buat bantu-bantu mencairkan suasana. Si roommate ini bawa empat kardus besar yang isinya barang-barang macem sprei, baju, sepatu, dan daily needs lainnya. Ini cuma intermezo aja, jadi dia paketin itu semua barangnya dari rumah. Terus dia naik bus dari rumah ke asrama, tapi cuma bawa tas tangan biasa aja jadi ga ribet. Keren sih. 

Waktu dia dateng, gue belum sholat Dzuhur. Setelah basa-basi kenalan, gue pun ngomong ke temen Maroko gue, "eh ajakin roommate ngobrol dulu ya. Gue mau wudhu dulu, belom sholat." Fyi mahasiswa Maroko ini muslim juga jadi kita enggak sungkan satu sama lain. Setelah wudhu di toilet, guepun sholat di kamar. Space tempat sholat gue ini kehalang sama dinding meja belajar roommate, makanya dia tetep ngobrol sama temen Maroko tanpa memperhatikan gue. Tapi kemudian, pas gue sholat rakaat kedua, dia sadar kalo gue lagi melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Gue denger dia sempet manggil-manggil: "Risti? Are you okay?" atau semacem itulah. Temen Maroko cuma balas: "selo dia lagi sholat," kemudian mereka melanjutkan pembicaraan lagi. 

Lama kemudian, temen Maroko ini balik ke kamarnya di lantai atas. Tinggallah kita berdua di kamar. Pas itu, barrier di antara kita udah nggak setebel pas baru ketemu. Gue juga udah jelasin kalo gue muslim dan berhijab. Si roommate pun (kayanya) memberanikan diri bertanya: "Risti what are you doing earlier? Is it bowing?" Gue rada bingung juga kenapa dia ngomongnya bowing, bukan praying. Istilah yang umum digunakan kan pray. Iya, kan? Mungkin karena banyak orang Buddha di sana jadi mereka mengasosiasikan sholat sebagai bowing. Gue jelasinlah ke dia kalau gue tadi sholat, kewajiban agama, and I have to do that five times a day. Dia kaget gitu kaya, "eii?? Really? Aren't you tired?" Gue cuma senyum-senyum dan haha hihi aja.

Akhirnya, tibalah malam pertama kita tidur bersama. Selama di Korea, gue pake sebuah aplikasi yang adzannya bunyi agak kenceng. Ya maklum, lagi winter subuhnya aja setengah enem. Kan wajib harus menyesuaikan rotasi matahari di sana. Apalagi ga ada adzan kenceng dari masjid layaknya di Indonesia, jadi emang kudu punya reminder sendiri. 

Paginya, bunyilah ini adzan pas masuk waktu Subuh. Kebetulan juga, gadget gue taruh di meja belajar dengan kondisi speaker di atas, bukan di samping kasur. Pas mulai kedengeran: "Allaahu akbar Allaahu akbar," rommate gue tiba-tiba bangun sambil teriak-teriak pake bahasa Korea campur Inggris. "MWOYA?? IGE MWOYA?? RISTII!! WHAT HAPPENED?? SOMEONE IS SCREAMING NEAR US!!"

Gue...... 

Panik dan bingung......

Dia literally yang menyibakkan selimut sambil noleh kanan kiri panik seolah-olah ada hantu lagi nereakin dia.

Gue otomatis bangun juga dan menenangkan dia sambil ngomong: "No, no, it's okay. It's my reminder to sholat. Nothing bad. You can go back to sleep, Roommate," sambil nepuk2 punggung doi. Sampai sini gue mikir, aduh susah nih kalo dia sensitif sama bunyi alarm. Masa iya gue subuh ga pake reminder kan pasti kelewatan (hehe). 

Kocaknya lagi, dia cuma: "Really?" kemudian balik bobok lagi. Terus habis balik ambil wudhu, dia udah ngorok. Serah lah mbak. Habis kejadian itu, gue ganti alarm gue jadi alarm dengan common ringtone di HP, yang itu berarti gue harus adjust waktunya setiap hari. Kebetulan waktu itu lagi masa transisi dari winter ke spring, jadi bener-bener kerasa banget yang sebelumnya jam tujuh pagi aja matahari baru terbit, sampai pada akhirnya matahari terbit jam setengah enaman. 

Siangnya, roommate inget kejadian pagi tadi dan nanya: "Ris, tadi itu kenapa ya? Kok kaya ada bapak-bapak masuk ke kamar kita terus teriak-teriak. Padahal gue yakin pintu kamarnya udah gue tutup." 

Q lelah. Ya, reaksi gue otomatis ketawa sih. Sebegitunya ya orang awam memandang kebiasaan-kebiasaan beragama yang emang nggak common di kehidupan mereka. Pada akhirnya, gue menjelaskan dari A sampai Z kalo suara itu tadi namanya adzan. Adzan itu panggilan buat sholat, buat praying. Kalo lo tinggal di Indonesia, lo bakal denger adzan ini five times a day, sesuai dengan waktu masuknya shalat. Terus, suara ini juga bakal di speaker dari masjid jadi kedengeran buat semua orang meskipun lo non-muslim dan tidak berkewajiban untuk sholat. Then, her response be like: "Jadi, Ris, kalo aku ke Indonesia, tiap pagi aku bakal denger suara bapak-bapak teriak-teriak itu?" And I was like: "Um.... yeah?"

Seiring berjalannya waktu, roommate gue pun jadi ngerti tentang praktek-praktek agama Islam dan dia juga menghormati itu. Pernah juga ketika weekend dia menghabiskan seharian di kamar dan menyaksikan gue sholat lima kali. Pas mau sholat ashar, dia sempet nyeletuk: "Again? You do this again?" sambil geleng-geleng kepala dengan muka takjub. Meskipun pada akhirnya dia masih stay dengan ke-atheis-annya (gue gagal meng-Islamkan dia LOL), gue menghormati apa yang menjadi pilihannya dan dia juga menghormati apa yang menjadi pilihan gue. Setiap kita mau makan, dia pasti juga berusaha nyariin makanan vegetarian. Apalagi ketika puasa ramadhan, dia juga berusaha untuk makan di dapur, padahal biasanya kita selalu makan bareng di kamar. Niceee.

At last, I took my faith seriously but I don't want to make it scary.
Semoga kalian yang mau hidup di muslim-minority country bisa mengaplikasikan ajaran-ajaran agama kalian dengan baik dan beradab. Semoga cerita ini juga tidak dianggap sebagai hal yang negatif; because I just merely love in the idea of diversity :D

Thursday, October 13, 2016

Exchange Student (part 2 - Global Korea Scholarship)

Well I'm not going to explain GKS in detail, so if you need a further official information, please kindly check NIIED webpage. As far as I know, this scholarship also provides some sort of funding for master and doctoral degree.

This scholarship is famous (at least among us, UI student) as it is issued by Korea's Ministry of Education. They kindly offers you a monthly stipends (₩500,000/month), settlement fee (₩200,000), insurance coverage (₩80,000), and two-round flight ticket from your home country to Korea. Pretty attractive, right?

Before getting too much hype, make sure that your Korean university (destination school) listed in GKS/KGSP grantee. I think I got this information from NIIED's official webpage so maybe you can re-check it. Only top-20 universities in Korea got the chance to be selected.

After that, in my case, you need to pass two different selection process. The first process conducted in your home university, the later will took place in Korea.

My home university only recommend one student per destination. For instance, UI delegating two exchange students in SNU and two exchange students in Ajou, but only one student in SNU and one student in Ajou had the chance to apply. Well, UI also gave some sort of scholarship if you happened to fail this GKS, but we have to deal with their bureaucracy- so I still believe that GKS is the best option. This university recommendation is important since students can not apply for GKS by themselves.

Then, you have to submit the required documents within the deadline. This one is pretty harsh since they only gave you 1-2 days until the due. This documents consist of student transcript, self-introduction essay and study-plan essay. In Korea, they have a 4.5 maximum GPA index, so if your country adopt a different regime, you have to convert your grade. As for study plan, you only need to explain which subject are you going to take in Korea, and why. Make sure to check the university's syllabi before writing this essay. GKS awardee also required to take at least one subject focused in Korean development, so make sure that you put this course in your study arrangement. I'll suggest you to, at least, prepare your essay's outline directly after you are choosen as an exchange delegate because you don't have much time between GKS notification and submission deadline.

After that, Korean government & university will proceed your application. I'm not sure about the government's criteria of selection. As far as I know, they only choose 5 awardee per university. In Ajou University Spring 2016, along with me, there also a student from Finland, Germany, USA, and France.

The selection process will take more than a month; definitely leaving me hanging. I just got the acceptance news about two weeks before my flight. Some students got the announcement right before their departure to Korea.

If you need references for GKS essays don't hesitate to e-mail me through risti.hayu@gmail.com.  I hope it helped. Good luck!

Wednesday, October 12, 2016

Student Exchange (Part 1 - Preparation)

Not really exciting, but tiring. This is how I'm going to tell ya the whole process of bureaucracy, administration, and everything that come before I officially selected as an exchange student.

First, if you want to now something: just ask. If you have no courage (sometimes it happened to me- well, INFJ): google. That's the right place of finding what you really need. For me, I want to study abroad, but I don't want to crash my savings. Thus, among all the exchange programs available, I sort of picking the one that matched with my need.

Second, why would I choose Korea? I simply decide because they offer you a fully funded program called GKS (Global Korea Scholarship). I trace the former awardees of this scholarship and ask them for advice; how to apply and calculate the possibility of passing the selection. After a mini-research, thanks to our campus' good reputation, this GKS acceptance in UI is nearly 100%. So, why bother to choose others? ㅋㅋ
Besides, I studied in Economics & Business faculty which are proven to be the key sector upon Korea development up to this day.

Third, make sure you prepare the documents FAR before the deadline. Well, sometimes they're going to be harsh; the international office only spare a week between their open recruitment announcement and submission deadline. Meanwhile, they ask you to submit TOEFL score, recommendation letter, motivation letter, and such documents that is impossible to settle in a week (for further information about documents' requirement in my campus please access international.ui.ac.id). For me, I proceed the recommendation letter from my faculty's dean in a month. TOEFL test will take you about two weeks, and motivation letter only cost me around two days.

Fourth, international office staff will inform you about the interview date soon after the open registration due. The head of international office will face you herself; so please be prepared. As in my experience, you have to convince them why you are the most suitable candidate, what is your future plans, and how this program will benefit you.

Last, make sure that you are available for calls because they did not state a clear time upon when will you receive the announcement. Also frequently check your e-mails because in some case, they wrote to you.

Hope this article help you! Have a faith! :D